Lebih khusus lagi bagi orang yang mengenal Jakarta hanya melalui media televisi, dan hanya sesekali memasuki kota Jakarta jika ada keperluan saja, atau bagi orang ndeso seperti mamang yang sehari-harinya tinggal di perbuktian gunung Kareumbi, dimana kesehariannya hanya bergelut dengan lumpur sawah, bau tanah ladang, serta pupuk kandang, menyaksikan panorama sunset tersebut, pikiran dan hati menjadi berkecamuk diantara keindahannya dan disanalah harapan banyak orang digantungkan demi mendapatkan hidup yang lebih baik.
Sunset Jakarta
Puncak menara, gedung tinggi, dan tugu Monas yang berbalutkan cahaya matahari sesaat sebelum tenggelam keperaduannya (baca: sunset) menjadi terlihat sangat indah, disanalah terpancar warna warni kehidupan dari orang-orang yang berada diantara pencakar langit tersebut.
Setiap individu dan semua sendi kehidupan bergerak dengan cepat, hitungan menit bahkan detik menjadi sangat berharga, setiap langkah dan detak nadi semua diperhitungkan dengan seksama, sebab jika sedikit saja tidak mengikuti irama kehidupan, maka besiaplah untuk terlindas oleh orang lain, sebab itulah kerap orang-orang menjadi tidak perduli dengan sesama, dan budaya pun menjadi hilang, bagaimana tidak:
- Sebegitu banyaknya makanan, tetapi banyak pula yang kelaparan,
- Sebegitu banyaknya air, tetapi banyak pula yang kehausan,
- Sebegitu banyaknya pekerjaan, tetapi banyak pula pengangguran,
- Sebegitu banyaknya rumah, tetapi banyak pula yang tidur diemperan dan kolong jembatan,
- Sebegitu banyaknya orang dan tetangga, tetapi banyak pula orang-orang yang tidak diperdulikan,
- Sebegitu banyaknya cinta, tetapi banyak pula orang yang tidak memiliki cinta.