Banyak negara yang terlambat mengantisipasi kelompok garis keras atau kaum radikal-ekstrem kanan akibat terlalu lemah melihat ciri-cirinya, juga terlalu sempit mendefinisikannya.
Banyak yang mengartikan radikalisme hanya dengan aksi destruktif dan teror, bukan melalui gerakan anjuran maupun sosial kemasyarakatannya.
Perang terbuka lalu tak terhindarkan, korban berjatuhan dan perpecahan menjadi keniscayaan. Kesalahan definisi, berimbas kepada kelemahan dalam cegah dan berujung fatal dalam tindak.
Gerakan secara masif sekelompok masyarakat yang mengarah kepada aksi intoleransi adalah embrio dari radikalisme. Termasuk ujaran-ujaran yang mengarah kepada aksi kekerasan berbasis keyakinan, adalah pola-pola awal radikalisme.
Penyerangan - meski hanya secara verbal - terhadap kelompok yang dianggap berbeda keyakinan, adalah bola panas yang pada akhirnya akan membentuk residu kebencian.
Dari sinilah nantinya pada momen tertentu, kebencian yang dibangun perlahan akan ditunjukkan melalui aksi kekerasan secara massal.
Beberapa kali dia menghina agama lain, mendevaluasi Pancasila, menyerang secara verbal siapapun yang dianggap tidak sebarisan, adalah gumpalan-gumpalan kebencian yang dibangun kepada FPI, yang tidak mustahil pada saatnya nanti akan membuat FPI menjadi "mesin perang" yang mengancam tatanan sosial. Negara tidak boleh terlalu menyimplifikasi persoalan ini.
Ciri-ciri radikalisme sudah melekat kepada FPI. Untuk itulah TNI dan Polri sudah harus memakai kacamata kuda dalam mengantisipasi ini. Jangan hiraukan suara seepolitisi yang memang senang memanjakan kerumunan.
Politisi hanya pintar bicara - karena mereka merasa masyarakat hanya melihat dirinya, tanpa pernah merasa bahwa merekalah yang seharusnya melihat masyarakat.